Adat dan Agama dalam Masyarakat Hukum Adat Bali
Masyarakat hukum adat Bali
adalah menganut Agama Hindu dan dalam kesehariannya diatur berdasarkan hukum
adat Bali. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat
hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh
berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat
Bali itu sendiri. Oleh karenanya dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat
dan agama tidak dapat dipisahkan.
Tak dapat dipisahkannya antara adat dan agama di
dalam masyarakat hukum adat Bali, disebabkan karena adat itu sendiri bersumber
dari ajaran agama. Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh
masyarakat hukum adat Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui etika,
susila, dan upacara. Ketiga hal inilah digunakan sebagai norma yang mengatur
kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika, susila, dan upacara yang
dicerminkan dalam kehidupannya sehari-hari mencerminkan rasa kepatutan dan
keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya azas hukum
yang melingkupi hukum adat Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.
Adanya azas kepatutan dan keseimbangan ini,
adalah pedoman untuk dapat mengukur apakah tindakan dan perbuatan itu sesuai
dengan norma yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal seperti
ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ‘patut’ dan apa yang
disebut dengan ‘boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan, belum tentu
merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sebagai misal, setiap perempuan pada
prinsipnya boleh hamil, namun perempuan yang patut hamil hanyalah perempuan
yang memiliki suami. Demikian pula selanjutnya dengan perbuatan-perbuatan yang
lainnya.
Sedang pada azas keseimbangan (harmoni), pada
dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan tidak mengganggu keseimbangan
didalam kehidupan masyarakan. Pada perbuatan ataupun keadaan yang mengganggu
keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa
tindakan-tindakan yang mencerminkan mengembalikan keseimbangan yang terjadi
oleh perbuatan atau keadaan tersebut. Pada gangguan keseimbangan yang tidak
diketahui atau tidak dapat ditimpakan pertanggungjawabannya atas kejadian
tersebut, maka adalah menjadi tanggung jawab persekutuan (kesatuan masyarakat
hukum adat) untuk bertanggung jawab atas pengembalian keseimbangan yang harus
dilakukan.
Walaupun tadi dikatakan bahwa antara adat dan
agama tidak dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama msih dapat dibedakan.
Agama (dalam hal ini agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali)
adalah berasal dari ketentuan-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab
suci yang diturunkannya. Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam
masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat
Ada empat faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan hukum Adat. Faktor-faktor tersebut adalah
1.Magi dan animisme;
2.Agama;
3.Kekuasaaan yang lebih tinggi dari persekutuan
hukum adat; dan
4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan
asing.
1. Faktor magi dan animisme:
Pada masyarakat hukum adat, faktor magi dan
animisme ini pengaruhnya begitu besar dan tidak atau belum dapat terdesak oleh
agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam ujud
pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada
kekuasaan atau kekuatan gaib yang dapat dimohon bantuannya.
2. Faktor Agama:
Adanya pengaruh dari agama-agama yang masuk
kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan,
seperti agama Hindu, agama Islam, dan agama Kristen.
3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari
persekutuan hukum adat:
Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat
ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan
hukum adat seperti Kerajaan dan Negara.
4. Hukungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan
asing:
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan
kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang
kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang
asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, sangat
mempengaruhi perkembangan cara berpikir orang Indonesia. Sebagai contoh dapat
dikemukakan proses individualisering di kota-kota yang berjalan lebih cepat
dari pada masyarakat di pedesaan.
Hukum Adat Tidak Mengenal Asas Legalitas
Berlainan dengan hukum
kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup.
Hukum adat tidak mengenal sistem “prae-existente regels”, artinya
tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu
sebagaimana dalam “asas legalitas” yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian
perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau
tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan
masyarakat, keselamatan golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat
(anggota famili, dan sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum.
Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu
perbuatan yang tadinya tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat
dianggap oleh hakim atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata
tertib masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat
(adatreaksi) guna memperbaiki hukum.
Adat-Istiadat dan Hukum Adat
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat-istiadat
dan hukum adat. Suatu adat-istiadat yang hidup (menjadi tradisi)
dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat).
Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat
dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain:
Van Vollehoven: dikatakan
olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang oleh
masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada
perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan
oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat
itu bersifat hukum.
Ter Haar: dikatakan olehnya
bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan
petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa dan lain
sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan
itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca
tentang: teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar)
Prof. Soepomo: mengatakan bahwa
suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (“rule of behaviour”)
pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang
bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau
pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran
peraturan-peraturan itu.
Selanjutnya dikatakan oleh Prof. Soepomo bahwa
tiap peraturan adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan
lahirnya peraturan baru. Demikian pula dengan peraturan baru ini yang juga akan
berkembang dan selanjutnya lenyap karena tergantikan oleh peraturan baru yang
sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani
masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya, keadaan ini digambarkan
sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra.
Sifat Dan Unsur Hukum Adat
1. Tradisional
Hukum adat memiliki sifat Tradisional, artinya bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang hingga zaman sekarang, keadaannya masih tetap utuh, masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Contohnya seperti suku Naulu di Pulau Seram yang sampai sekarang terhadap bertahan dengan hukum adatnya.
2. Magis Religius (Keagamaan)
Hukum adat memiliki sifat Magis Religius, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang.
Contohnya pada upacara-upacara adat diadakan sesajen berupa potongan atau penggalan kepala manusia yang ditujukan pada roh-roh leluhur guna meminta restu atau perlindungan seperti yang dilakukan suku Naulu di Pulau Seram.
3. Komunal (Kebersamaan)
Hukum adat memiliki sifat Komunal, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalamikatan kemasyarakatan yang erat sehingga lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan dilandaskan semangat kekeluargaan, gotong-royong, serta tolong-menolong.
Contohnya perburuan binatang seperti babi, rusa, burung yang dilakukan secara bersama oleh Suku Naulu di Pulau Seram, ada juga conoth lainnya seperti Masohi atau gotong royong ketika membangun rumah, gereja dan sebagainya.
4. Konkrit & Visual
Hukum adat memiliki sifat Konkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan (perbuatan itu benar benar- benar merupakan realisasi dari perkataan).
Contohnya kegiatan jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran barang dengan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
Sedangkan sifat visual artinya dalam hukum adat suatu hal dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Contohnya Panjer dalam maksud akan melakukan jual beli atau memindahkan hak atas tanah, Peningset dalam pertunangan jika akan melaksanakan pertunangan.
5. Terbuka & Sederhana
Hukum adat memiliki sifat Terbuka & Sederhana artinya bisa menerima hukum lain didalamnya selama tidak melebihi atau bertentangan dengan hukum adat tersebut.
Contohnya Suku Naulu di Pulau Seram bisa menerima hukum adat dari daerah atau negeri lain yang berada di Pulau Seram.
6. Mengikuti Perkembangan Zaman
Hukum adat memiliki sifat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dapat namun sulit untuk diubah bentuknya karena sudah menjadi bagian dari hidup bermasyarakat.
Contohnya Suku Naulu di pulau Seram, berubah mengikuti perkembangan zaman, orang-orang yang terbiasa menjalankan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut berbaur dengan masyarakat, melaksanakan aktivitas-aktivitas bersama masyarakat walaupun mereka tetap menjaga kelestarian hukum adat mereka.
7. Tidak Dikodifikasi
Hukum adat memiliki sifat tidak dikodifikasi artinya hukum adat tidak dibukukan atau ditulis seperti halnya hukum pidana karena hukum adat hidup dan berkembang di dalam masyarakat terkecuali peraturan raja-raja pada zaman dahulu yang ditulis di batu ataupun dinding kerajaan.
Contohnya kegiatan panas pela yang diadakan oleh Negeri Tihulale dan Negeri Huku di Pulau Seram setiap beberapa tahun sekali, kegiatan ini tidak pernah dijadwalkan secara tertulis, karena sudah hidup dan berlangsung di tengah masyarakat selama ribuan tahun.
8. Musyawarah Mufakat
Hukum adat memiliki sifat musyawarah mufakat artinya dalam suatu masyarakat adat, jika ada permasalahan tertentu selalu diselesaikan dengan cara bermusyawarah sehingga jarang sekali dalam masyarakat timbul perdebatan seperti yang banyak kita temui saat ini dalam masyarakat modern.
Contohnya di Negeri Tihulale, Pulau Seram ketika ada suatu permasalahan dalam masyarakat, maka semua masyarakat adat akan berkumpul dalam Baileo untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah tersebut dengan mencari solusi terbaik dari pendapat-pendapat yang diajukan.
Hukum adat memiliki sifat Tradisional, artinya bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang hingga zaman sekarang, keadaannya masih tetap utuh, masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Contohnya seperti suku Naulu di Pulau Seram yang sampai sekarang terhadap bertahan dengan hukum adatnya.
2. Magis Religius (Keagamaan)
Hukum adat memiliki sifat Magis Religius, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang.
Contohnya pada upacara-upacara adat diadakan sesajen berupa potongan atau penggalan kepala manusia yang ditujukan pada roh-roh leluhur guna meminta restu atau perlindungan seperti yang dilakukan suku Naulu di Pulau Seram.
3. Komunal (Kebersamaan)
Hukum adat memiliki sifat Komunal, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalamikatan kemasyarakatan yang erat sehingga lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan dilandaskan semangat kekeluargaan, gotong-royong, serta tolong-menolong.
Contohnya perburuan binatang seperti babi, rusa, burung yang dilakukan secara bersama oleh Suku Naulu di Pulau Seram, ada juga conoth lainnya seperti Masohi atau gotong royong ketika membangun rumah, gereja dan sebagainya.
4. Konkrit & Visual
Hukum adat memiliki sifat Konkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan (perbuatan itu benar benar- benar merupakan realisasi dari perkataan).
Contohnya kegiatan jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran barang dengan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
Sedangkan sifat visual artinya dalam hukum adat suatu hal dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Contohnya Panjer dalam maksud akan melakukan jual beli atau memindahkan hak atas tanah, Peningset dalam pertunangan jika akan melaksanakan pertunangan.
5. Terbuka & Sederhana
Hukum adat memiliki sifat Terbuka & Sederhana artinya bisa menerima hukum lain didalamnya selama tidak melebihi atau bertentangan dengan hukum adat tersebut.
Contohnya Suku Naulu di Pulau Seram bisa menerima hukum adat dari daerah atau negeri lain yang berada di Pulau Seram.
6. Mengikuti Perkembangan Zaman
Hukum adat memiliki sifat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dapat namun sulit untuk diubah bentuknya karena sudah menjadi bagian dari hidup bermasyarakat.
Contohnya Suku Naulu di pulau Seram, berubah mengikuti perkembangan zaman, orang-orang yang terbiasa menjalankan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut berbaur dengan masyarakat, melaksanakan aktivitas-aktivitas bersama masyarakat walaupun mereka tetap menjaga kelestarian hukum adat mereka.
7. Tidak Dikodifikasi
Hukum adat memiliki sifat tidak dikodifikasi artinya hukum adat tidak dibukukan atau ditulis seperti halnya hukum pidana karena hukum adat hidup dan berkembang di dalam masyarakat terkecuali peraturan raja-raja pada zaman dahulu yang ditulis di batu ataupun dinding kerajaan.
Contohnya kegiatan panas pela yang diadakan oleh Negeri Tihulale dan Negeri Huku di Pulau Seram setiap beberapa tahun sekali, kegiatan ini tidak pernah dijadwalkan secara tertulis, karena sudah hidup dan berlangsung di tengah masyarakat selama ribuan tahun.
8. Musyawarah Mufakat
Hukum adat memiliki sifat musyawarah mufakat artinya dalam suatu masyarakat adat, jika ada permasalahan tertentu selalu diselesaikan dengan cara bermusyawarah sehingga jarang sekali dalam masyarakat timbul perdebatan seperti yang banyak kita temui saat ini dalam masyarakat modern.
Contohnya di Negeri Tihulale, Pulau Seram ketika ada suatu permasalahan dalam masyarakat, maka semua masyarakat adat akan berkumpul dalam Baileo untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah tersebut dengan mencari solusi terbaik dari pendapat-pendapat yang diajukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar