I Putu Odie Biroe Odie Biroe: Adat dan Agama dalam Masyarakat Hukum Adat Bali

Halaman

Kamis, 15 Agustus 2013

Adat dan Agama dalam Masyarakat Hukum Adat Bali



Adat dan Agama dalam Masyarakat Hukum Adat Bali

Masyarakat hukum adat Bali adalah menganut Agama Hindu dan dalam kesehariannya diatur berdasarkan hukum adat Bali. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Oleh karenanya dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan.
Tak dapat dipisahkannya antara adat dan agama di dalam masyarakat hukum adat Bali, disebabkan karena adat itu sendiri bersumber dari ajaran agama. Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui etika, susila, dan upacara. Ketiga hal inilah digunakan sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika, susila, dan upacara yang dicerminkan dalam kehidupannya sehari-hari mencerminkan rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya azas hukum yang melingkupi hukum adat Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.
Adanya azas kepatutan dan keseimbangan ini, adalah pedoman untuk dapat mengukur apakah tindakan dan perbuatan itu sesuai dengan norma yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal seperti ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ‘patut’ dan apa yang disebut dengan ‘boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan, belum tentu merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sebagai misal, setiap perempuan pada prinsipnya boleh hamil, namun perempuan yang patut hamil hanyalah perempuan yang memiliki suami. Demikian pula selanjutnya dengan perbuatan-perbuatan yang lainnya.
Sedang pada azas keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan tidak mengganggu keseimbangan didalam kehidupan masyarakan. Pada perbuatan ataupun keadaan yang mengganggu keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa tindakan-tindakan yang mencerminkan mengembalikan keseimbangan yang terjadi oleh perbuatan atau keadaan tersebut. Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat ditimpakan pertanggungjawabannya atas kejadian tersebut, maka adalah menjadi tanggung jawab persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk bertanggung jawab atas pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan.
Walaupun tadi dikatakan bahwa antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama msih dapat dibedakan. Agama (dalam hal ini agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali) adalah berasal dari ketentuan-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci yang diturunkannya. Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu.


Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat

Ada empat faktor penting yang mempengaruhi perkembangan hukum Adat. Faktor-faktor tersebut adalah
1.Magi dan animisme;
2.Agama;
3.Kekuasaaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat; dan
4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing.
1. Faktor magi dan animisme:
Pada masyarakat hukum adat, faktor magi dan animisme ini pengaruhnya begitu besar dan tidak atau belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam ujud pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada kekuasaan atau kekuatan gaib yang dapat dimohon bantuannya.
2. Faktor Agama:
Adanya pengaruh dari agama-agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Hindu, agama Islam, dan agama Kristen.
3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat:
Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti Kerajaan dan Negara.
4. Hukungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing:
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, sangat mempengaruhi perkembangan cara berpikir orang Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan proses individualisering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada masyarakat di pedesaan.

Hukum Adat Tidak Mengenal Asas Legalitas

Berlainan dengan hukum kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem “prae-existente regels”, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu sebagaimana dalam “asas legalitas” yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat (anggota famili, dan sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum.
Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang tadinya tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat (adatreaksi) guna memperbaiki hukum.

Adat-Istiadat dan Hukum Adat

Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat-istiadat dan hukum adat.  Suatu adat-istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat). Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain:
Van Vollehoven: dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu bersifat hukum.
Ter Haar: dikatakan olehnya bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca tentang: teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar)
Prof. Soepomo: mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (“rule of behaviour”) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan-peraturan itu.
Selanjutnya dikatakan oleh Prof. Soepomo bahwa tiap peraturan adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru. Demikian pula dengan peraturan baru ini yang juga akan berkembang dan selanjutnya lenyap karena tergantikan oleh peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya, keadaan ini digambarkan sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra.



Sifat Dan Unsur Hukum Adat
1. Tradisional
Hukum adat memiliki sifat Tradisional, artinya bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang hingga zaman sekarang, keadaannya masih tetap utuh, masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Contohnya seperti suku Naulu di Pulau Seram yang sampai sekarang terhadap bertahan dengan hukum adatnya.

2. Magis Religius (Keagamaan)
Hukum adat memiliki sifat Magis Religius, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang.
Contohnya pada upacara-upacara adat diadakan sesajen berupa potongan atau penggalan kepala manusia yang ditujukan pada roh-roh leluhur guna meminta restu atau perlindungan seperti yang dilakukan suku Naulu di Pulau Seram.

3. Komunal (Kebersamaan)
Hukum adat memiliki sifat Komunal, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalamikatan kemasyarakatan yang erat sehingga lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan dilandaskan semangat kekeluargaan, gotong-royong, serta tolong-menolong.
Contohnya perburuan binatang seperti babi, rusa, burung yang dilakukan secara bersama oleh Suku Naulu di Pulau Seram, ada juga conoth lainnya seperti Masohi atau gotong royong ketika membangun rumah, gereja dan sebagainya.


4. Konkrit & Visual
Hukum adat memiliki sifat Konkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan (perbuatan itu benar benar- benar merupakan realisasi dari perkataan).
Contohnya kegiatan jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran barang dengan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
Sedangkan sifat visual artinya dalam hukum adat suatu hal dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Contohnya Panjer dalam maksud akan melakukan jual beli atau memindahkan hak atas tanah, Peningset dalam pertunangan jika akan melaksanakan pertunangan.

5. Terbuka & Sederhana
Hukum adat memiliki sifat Terbuka & Sederhana artinya bisa menerima hukum lain didalamnya selama tidak melebihi atau bertentangan dengan hukum adat tersebut.
Contohnya Suku Naulu di Pulau Seram bisa menerima hukum adat dari daerah atau negeri lain yang berada di Pulau Seram.

6. Mengikuti Perkembangan Zaman
Hukum adat memiliki sifat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dapat namun sulit untuk diubah bentuknya karena sudah menjadi bagian dari hidup bermasyarakat.
Contohnya Suku Naulu di pulau Seram, berubah mengikuti perkembangan zaman, orang-orang yang terbiasa menjalankan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut berbaur dengan masyarakat, melaksanakan aktivitas-aktivitas bersama masyarakat walaupun mereka tetap menjaga kelestarian hukum adat mereka.


7. Tidak Dikodifikasi
Hukum adat memiliki sifat tidak dikodifikasi artinya hukum adat tidak dibukukan atau ditulis seperti halnya hukum pidana karena hukum adat hidup dan berkembang di dalam masyarakat terkecuali peraturan raja-raja pada zaman dahulu yang ditulis di batu ataupun dinding kerajaan.
Contohnya kegiatan panas pela yang diadakan oleh Negeri Tihulale dan Negeri Huku di Pulau Seram setiap beberapa tahun sekali, kegiatan ini tidak pernah dijadwalkan secara tertulis, karena sudah hidup dan berlangsung di tengah masyarakat selama ribuan tahun.

8. Musyawarah Mufakat
Hukum adat memiliki sifat musyawarah mufakat artinya dalam suatu masyarakat adat, jika ada permasalahan tertentu selalu diselesaikan dengan cara bermusyawarah sehingga jarang sekali dalam masyarakat timbul perdebatan seperti yang banyak kita temui saat ini dalam masyarakat modern.
Contohnya di Negeri Tihulale, Pulau Seram ketika ada suatu permasalahan dalam masyarakat, maka semua masyarakat adat akan berkumpul dalam Baileo untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah tersebut dengan mencari solusi terbaik dari pendapat-pendapat yang diajukan.

Tidak ada komentar: